KOEFISIEN ETIOLASI
karya: Wiranagara
Beberapa orang suka mengingat-ingat sebagai bentuk syukur atas segala perih yang dilewati. Ada pula yang mengingat untuk merapal penyesalan akibat kegagalan atau keterlambatan membuka rasa di satu hati. Terlepas duka atau bahagia, lebih dari sekedar fungsi otak yang bekerja, ingatan adalah sebuah gerbang.
Berbagai macam persiapan pun dilaksanakan. Setumpuk buku galau untuk menjembatani ruang dan waktu, beberapa lagu sendu juga diputer berulang-ulang menjawab kebutuhan rindu. Kita terlatih memasuki portal abadi. Jutaan janji bermunculan menjelang pintu masuk, sedemikian riuhnya kenangan yang terbuka tanpa diketuk. Nama-nama melambai saling berbisik memyambut kehadiran yang terasa mengusik.
Seperti itu, begitulah kini aku.
Menertawai masa lalu.
Menangisi yang telah berlalu.
Sepihak dengan kondisi hati, raga pun mengamini. Mengacak rambut sendiri dilakukan berulang kali sembari mengutuk ketidakberdayaan perasaan untuk memaafkan. Ya, tentang dia. Alasan betapa otak harus terus diasah tajam agar fungsinya tetap jaya walau tubuh semakin menua.
Untuk apalagi hidup jika tidak digunakan untuk mengenang? Nyatanya, sekarang hidup tak semenyenangkan waktu itu. Buktinya, semesta tak menghadirkan bunga-bunga seperti saat dulu aku pernah jatuh cinta.
Hampir bosan aku melakukan perkenalan ke setiap lelaki. Kalau bukan karena lingkungan yang berisik, mana mungkin aku mau membohongi hati sendiri seakan-akan siap mencintai kembali. Ketahuilah, cinta menjadi indah sebab ketiadapaksaan. Tak perlu banyak alasan atau penjelasan klise atas dipilihnya suatu hubungan. Apa kau tak muak mendengar cerita betapa bahagianya punya kekasih dari muda-mudi yang bahkan bercelana saja masih meminta bantuan sang mami? Jika iya, kita berpikiran sama. Bahwa cinta ada untuk saling menjaga kenyamanan, bukan gelora kejuaraan untuk dipamerkan.
Seperti itu, begitulah kini aku.
Menertawai kisah mereka.
Menangisi dahulu yang kini menjadi luka.
Tak usah kau tatap gerimis berdua sembari bermanja-manja. Kelak kau akan sadari rintik hujan hanya akan membawamu ke dasar bumi, mengubur harapanmu ke inti magma, membakarnya hidup-hidup, dan meledak ke permukaan bersama sakit yang tak tertahankan. Kau akan mulai membuat prasasti di kaca jendela, bersekutu dengan debu yang membias di bali embun, jemarimu akan memulai cerita berbekal sela-sela yang merindukan genggaman. Kau tak akan mungkin bisa mengelak. Teriakanmu tak akan bisa menambah sesak. Tiada yang bisa mencegahmu dari rasa bersalah, dan senyumnya di ingatanmu tak akan pernah kalah.
Seperti itu, begitulah kini aku.
Menertawai tangis.
Menangisi tawa.
Menyusun tangga dari kepingan hati yang kau hancurkan. Merekatkan harapan di setiap pijakan, mendulang beberapa gempita yang membawaku dekat dengan Sang Pencipta. Percayalah, segala usaha tak akan pernah sia-sia. Termasuk aku yang kini menukar tempat dari bumi ke angkasa dengan meregang nyawa.
Sudahlah, tak usah khawatir. Paling tidak dari sini aku bisa lebih jelas melihat kebahagiaan yang terpancar dari rumah mimpimu itu.
Bila ada waktu senggang, bawa matamu ke arah langit. Dari situ, begitulah kini aku. Menitipkan tawa pada tangis di udara sebagai hujan yang memelukmu dari kejauhan.
Beberapa orang suka mengingat-ingat sebagai bentuk syukur atas segala perih yang dilewati. Ada pula yang mengingat untuk merapal penyesalan akibat kegagalan atau keterlambatan membuka rasa di satu hati. Terlepas duka atau bahagia, lebih dari sekedar fungsi otak yang bekerja, ingatan adalah sebuah gerbang.
Berbagai macam persiapan pun dilaksanakan. Setumpuk buku galau untuk menjembatani ruang dan waktu, beberapa lagu sendu juga diputer berulang-ulang menjawab kebutuhan rindu. Kita terlatih memasuki portal abadi. Jutaan janji bermunculan menjelang pintu masuk, sedemikian riuhnya kenangan yang terbuka tanpa diketuk. Nama-nama melambai saling berbisik memyambut kehadiran yang terasa mengusik.
Seperti itu, begitulah kini aku.
Menertawai masa lalu.
Menangisi yang telah berlalu.
Sepihak dengan kondisi hati, raga pun mengamini. Mengacak rambut sendiri dilakukan berulang kali sembari mengutuk ketidakberdayaan perasaan untuk memaafkan. Ya, tentang dia. Alasan betapa otak harus terus diasah tajam agar fungsinya tetap jaya walau tubuh semakin menua.
Untuk apalagi hidup jika tidak digunakan untuk mengenang? Nyatanya, sekarang hidup tak semenyenangkan waktu itu. Buktinya, semesta tak menghadirkan bunga-bunga seperti saat dulu aku pernah jatuh cinta.
Hampir bosan aku melakukan perkenalan ke setiap lelaki. Kalau bukan karena lingkungan yang berisik, mana mungkin aku mau membohongi hati sendiri seakan-akan siap mencintai kembali. Ketahuilah, cinta menjadi indah sebab ketiadapaksaan. Tak perlu banyak alasan atau penjelasan klise atas dipilihnya suatu hubungan. Apa kau tak muak mendengar cerita betapa bahagianya punya kekasih dari muda-mudi yang bahkan bercelana saja masih meminta bantuan sang mami? Jika iya, kita berpikiran sama. Bahwa cinta ada untuk saling menjaga kenyamanan, bukan gelora kejuaraan untuk dipamerkan.
Seperti itu, begitulah kini aku.
Menertawai kisah mereka.
Menangisi dahulu yang kini menjadi luka.
Tak usah kau tatap gerimis berdua sembari bermanja-manja. Kelak kau akan sadari rintik hujan hanya akan membawamu ke dasar bumi, mengubur harapanmu ke inti magma, membakarnya hidup-hidup, dan meledak ke permukaan bersama sakit yang tak tertahankan. Kau akan mulai membuat prasasti di kaca jendela, bersekutu dengan debu yang membias di bali embun, jemarimu akan memulai cerita berbekal sela-sela yang merindukan genggaman. Kau tak akan mungkin bisa mengelak. Teriakanmu tak akan bisa menambah sesak. Tiada yang bisa mencegahmu dari rasa bersalah, dan senyumnya di ingatanmu tak akan pernah kalah.
Seperti itu, begitulah kini aku.
Menertawai tangis.
Menangisi tawa.
Menyusun tangga dari kepingan hati yang kau hancurkan. Merekatkan harapan di setiap pijakan, mendulang beberapa gempita yang membawaku dekat dengan Sang Pencipta. Percayalah, segala usaha tak akan pernah sia-sia. Termasuk aku yang kini menukar tempat dari bumi ke angkasa dengan meregang nyawa.
Sudahlah, tak usah khawatir. Paling tidak dari sini aku bisa lebih jelas melihat kebahagiaan yang terpancar dari rumah mimpimu itu.
Bila ada waktu senggang, bawa matamu ke arah langit. Dari situ, begitulah kini aku. Menitipkan tawa pada tangis di udara sebagai hujan yang memelukmu dari kejauhan.
Komentar
Posting Komentar